Anggota kom. Gita Surya Tiga Raksa |
Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) berdiri di
Dongen Belanda tahun 1801 dengan nama Suster Fransiskus Dongen dan memulai
karya di Indonesia tepatnya di Medan Sumatera Utara, tanggal 17 April 1923. Selanjutnya,
pada tahun 1937 suster-suster SFD melebarkan daerah pelayanan ke Kalimantan
Selatan di kota Banjarmasin; dan ke Kalimantan
Tengah, di Kota Palangka Raya, Muara Teweh, dan Buntok dan pada tanggal 14 Juli
1958 di Pati Jawa Tengah
Pada tanggal 17 April 2007 Kongregasi Suster-suster
Fransiskus Dina resmi menjadi Kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi
Keuskupan Agung Semarang dengan nama Suster-suster Fransiskus Dina atau
disingkat dengan SFD. Biara Pusat ditetapkan di Jalan Ganesha II/8
Timoho-Yogyakarta, di bawah reksa Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Tahun
2017, jumlah Suster SFD Indonesia yang tersebar di delapan Keuskupan ada 208
orang termasuk Suster Novis.
Pada bulan Juli 1989, Kongregasi SFD memulai karya pelayanan di
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), membantu pelayanan di wisma KWI dan Kantor KWI
sebagai Petugas Rumah Tangga dan Petugas Keuangan. Pada tahun 1991, suster-suster
SFD ambil bagian dalam karya pelayanan pendampingan buruh (LDD) dan untuk pertama
sekali para suster SFD tinggal di perumahan milik LDD. Pada 1996, suster-suster
SFD boleh tinggal di rumah baru Desa Matagara yang kondisinya sulit karena
belum ada angkutan dan mayoritas dihuni oleh penduduk sederhana beragama Islam.
Tahun 1992/1993 suster-suster SFD memulai
karya Pendidikan, TK Strada di Tigaraksa. Dalam tahun yang sama dibuka karya
pelayanan di bidang kesehatan dengan tingkat Balai Pengobatan. Setelah Sekolah
TK berjalan baik, dibuka juga sekolah tingkat SD yang bernaung di Yayasan
Strada Jakarta, diikuti dengan sekolah tingkat SMP. Dalam perjalanan waktu terkait
dengan Yayasan, kesulitan demi kesulitan dialami dalam pelayanan di tiga unit
karya Pendidikan. Oleh karena itu, untuk pelayanan yang lebih maksimal Yayasan
Strada Pusat menganjurkan agar dibentuk satu yayasan yang dapat melayani ketiga
unit sekolah tersebut. Pada 09 Juni 2011 dibentuklah yayasan pendidikan dengan
nama Yayasan Fioretti yang berkedudukan di Kabupaten Tangerang. Pengurus
Yayasan Fioretti bekerja sama dengan kepala sekolah mulai menindaklanjuti
pergantian nama sekolah. Tahun 2016 diterbitkanlah SIOP untuk tingkat TK dan SD
yang menandai pergantian nama menjadi TK
Fioretti dan SD Fioretti. Pada 2017, SMP juga berganti nama menjadi SMP
Fioretti untuk kemudian didaftarkan di Majelis Pendidikan Katolik (MPK) KAJ.
Selain karya pendidikan dan kesehatan, para Suster SFD juga
melayani karya sosial Tempat Penitipan Anak (TPA) yang dimulai tahun 2011, berlokasi
di tengah pemukiman masyarakat Tigaraksa untuk membantu kaum buruh yang
mengalami kesulitan mencari pengasuh anak. Status karya TPA ini milik KAJ,
tetapi pada 2017 oleh kongregasi diserahkan kembali ke KAJ.
Secara umum karya pelayanan Suster SFD di KAJ meliputi Karya
Pendidikan (TK, SD, SMP), Karya Kesehatan (Klinik Pratama DORKAS), Pendampingan
kaum buruh (LDD), dan Pastoral. Melayani di KAJ - khususnya di Kabupaten
Tangerang - memiliki banyak tantangan dan kesulitan, baik dari luar karena
kondisi dan situasi masyarakat sekitar maupun dari dalam (internal). Meski demikian, sebagai religius yang
disemangati oleh Santo Fransiskus Assisi sebagai saudara dina, para suster SFD
tidak tinggal diam dan terus berusaha menemukan solusi serta melakukan
pertobatan.
Pengalaman berpastoral tentunya
menjadi salah satu pendukung dalam menyemangati para suster SFD untuk melayani
di Bumi Tangerang, Banten. Persaudaraan yang baik dengan umat yang ada di
wilayah Tigarakasa memberi suasana tersendiri, sebagai dukungan yang sangat
berarti melalui kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin.
Keterlibatan Kongregasi dalam berpastoral di
KAJ
Melalui kehadiran dan karya
pelayanan di KAJ, suster-suster SFD berusaha turut serta mendukung Arah Dasar (ARDAS)
yang sudah ditetapkan. Secara komunitas,
Kongregasi SFD ikut mendukung ARDAS melalui pengembangan pastoral keluarga
dengan kehadiran di lingkungan, paduan suara di gereja, dan kunjungan keluarga.
Para suster dibagi tugas untuk hadir ke setiap lingkungan, sebagai kesempatan
untuk berevangelisasi dan berkatekese. Terhadap lingkungan sekitar, para suster
berupaya menjalin kerja sama baik dengan Kepala Desa dan RT. Kegiatan lain,
ikut mendampingi karyawan-karyawan Katolik, pembinaan kaum muda, dan mengunjungi
saudara-saudara yang berada di penjara.
Kehadiran karya pelayanan suster-suster SFD, baik karya pendidikan,
sosial, maupun kesehatan diperluas sebagai upaya menjalankan karya pastoral. Kegiatan
yang berkaitan dengan sekolah, antara lain retret bersama, rekreasi bersama,
dan silaturahmi membangun persaudaraan dan keakraban sebagai keluarga. Melalui
karya kesehatan, para suster SFD memberi bantuan bagi sesama yang membutuhkan -
baik beragama Katolik maupun non-Katolik - selain juga terlibat aktif dalam
pelayanan di Klinik Paroki. Sementara, kegiatan di LDD merupakaan kehadiran
yang nyata untuk mewujudkan dan mengamalkan Pancasila.
Pernak-pernik Kehidupan Penuh Makna
1. “Ikan-ikan Kecil” di pinggir Jakarta ( Sr.
Frederika Sipayung SFD )
Seusai perayaan Ekaristi pada hari Minggu itu, semua yang
berkarya di pendidikan Katolik di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia
diundang oleh Bapak Uskup untuk bersambung rasa tentang kehidupan menggereja di
sekolah Katolik yang ada di wilayah Paroki. Dalam pertemuan dengan Uskup Agung
itu, Suster Frederika Sipayung SFD sangat terkesan dengan ungkapan Bapak Uskup
tersebut. “Saya sangat tergugah dengan itu dan sepertinya didorong agar segera
mencari ikan-ikan yang mungkin belum terjaring. Ikan-ikan yang beliau maksud
adalah anak-anak usia sekolah khususnya tingkat SD-SMP dari umat yang beragama
Katolik, tetapi karena ketidakmampuan secara ekonomi tidak sekolah di sekolah
Katolik,” kenangnya.
Pertemuan singkat itu sangat berkesan dan menyentak meski
disampaikan secara lemah lembut. Ada pengalaman, di awal tahun sebelumnya ada
anak dari umat Katolik yang terpaksa menarik anaknya dari Sekolah Strada
Tigaraksa karena kakaknya akan melanjutkan ke SMA dan adiknya akan masuk SD. Keluarga
itu tidak mampu membayar uang sekolah jika harus di sekolah Strada, ditambah
biaya transpor yang dirasa berat bagi keluarga itu karena jarak sekolah dengan
tempat tinggal mereka jauh (misalnya, Cikasungka salah satu stasi di Paroki
Citra Raya).
Tidak lama setelah itu, Suster Frederika Sipayung SFD bersama
dengan Yayasan, para guru, dan pegawai di bawah naungan Yayasan Fioretti
Tigaraksa—Tangerang yang berkarya dalam bidang pendidikan TK, SD dan SMP Strada
Tunas Harapan (nama saat itu), sepakat dan berusaha mencari “ikan-ikan kecil”
di lingkungan yang ada di sekitar Tigaraksa yang masuk ke Paroki Citra Raya,
Gereja Santa Odilia. Para guru/pegawai terlibat langsung “blusukan” ke
lingkungan-lingkungan Tigaraksa, Cikasungka, Adiasa, dan Cisoka, baik dengan
cara terlibat dalam doa lingkungan, maupun mengajar Sekolah Minggu di stasi
yang jauh dari gereja. Meski sebenarnya, untuk ukuran Keuskupan Agung Jakarta, Yayasan
Fioretti Tigaraksa sendiri tergolong sebagai “ikan kecil” juga.
Di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia hanya ada satu
gereja Katolik sehingga kehadiran para guru dan pegawai Strada Tunas Harapan
sangat berarti dan bermanfaat bagi stasi
tersebut. Hampir semua stasi letaknya cukup jauh dari gereja sehingga umat
membutuhkan waktu dan transportasi bila hendak pergi ke gereja. Sementara,
kondisi ekonomi umat Katolik yang ada di daerah Tigaraksa boleh dikatakan tergolong
menengah ke bawah karena pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh pabrik.
Kalau pun ada umat yang memiliki sepeda motor, hal itu tidak terlalu memberi
solusi bagi umat yang memiliki 2-3 orang anak. Hampir semua umat Katolik di
daerah ini merupakan pendatang dari luar daerah yang umumnya mengontrak atau
mencicil rumah tempat tinggal mereka. Kondisi ekonomi yang demikian membuat
mereka tidak mampu menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah Katolik, yang
bila ditilik dari statistik siswa, hanya 20% dari jumlah siswa (dari TK-SMP)
yang beragama Katolik.
Sungguh beruntung, para guru/pegawai Strada rela dan siap
melakukan tugas menjaring “ikan-ikan kecil” tersebut meski tidak ada bantuan tambahan dari pihak Yayasan.
Bahkan, saat dilakukan evaluasi atas program ini setelah berjalan satu semester,
para guru/pegawai justru mengaku bahagia dalam melaksanakan tugas itu. Salah
satu sharing mereka yang berkesan adalah,
bagaimana mereka dijamu dengan sangat akrab oleh stasi dan ada juga yang diberi
oleh-oleh sayuran, ayam, bahkan baju hujan. Kehadiran mereka sungguh sangat
dirindukan dan dari situ dapat disimpulkan bahwa masih ada anak-anak beragama Katolik
(meski sedikit) yang tidak sekolah di sekolah Katolik karena faktor ekonomi. Besaran
uang sekolah di sekolah Strada Tunas Harapan sebenarnya bukan yang menjadi
keluhan mereka, tetapi uang transporlah yang menjadi kendala.
Bersama pihak Yayasan dan sekolah, Suster Frederika Sipayung
SFD pun lantas ikut dalam menyisir orang tua asuh di antara orang tua
siswa-siswi yang dianggap mampu secara ekonomi dan juga berkoordinasi dengan Pastor
Paroki untuk membantu membiayai uang sekolah anak-anak tersebut. Di samping
itu, setiap akhir bulan setiap guru/pegawai diwajibkan mengumpulkan sumbangan suka
rela yang selanjutnya dapat dimanfaatkan
untuk uang sekolah, pakaian seragam, atau apa saja yang menjadi kebutuhan siswa
yang tidak mampu. Program ini dinamai “Persembahan Janda Miskin (PJS),
terinspirasi dari teks tersebut “memberi dari kekurangan” (bdk. Markus 12: 41-44).
Sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia, sekolah
Strada Tunas Harapan juga terlibat aktif bersama masyarakat di dalam berbagai kegiatan,
misalnya perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia, baik saat upacara bendera
maupun berbagai kegiatan pendukungnya. Demikian juga pada peringatan hari raya
keagamaan Natal, Paskah, bahkan hari raya Idul Fitri.
Keterlibatan aktif guru/pegawai dalam setiap kegiatan tersebut
memberi dampak positif bagi sekolah, yaitu bertambahnya jumlah siswa yang
mendaftar, bukan hanya dari keluarga yang beragama Katolik, tetapi dari
keluarga umat beragama yang lain. Lebih jauh, hal yang juga membahagiakan
Yayasan Fioretti Tigaraksa Tangerang adalah adanya kesempatan yang diberikan
oleh Perkumpulan Strada Jakarta bagi Yayasan Fioretti “yang kecil” untuk ikut
terlibat dalam memberi masukan tentang pendidikan yang berkembang di KAJ serta diikutsertakan
dalam berbagai kegiatan pendidikan.
Berkarya selama kurang lebih enam tahun di Yayasan Fioretti
Tigaraksa Tangerang sejak Agustus 2005 hingga 2011, sungguh merupakan pengalaman
yang sangat membangun panggilan Suster Frederika Sipayung SFD sebagai seorang
religius. Pun sebagai bagian dari keluarga Paroki Citra Raya, Gereja Santa
Odilia, ia juga membangun komunikasi yang baik dengan para pastor yang berkarya
di sana beserta seluruh umatnya. Kesibukan membantu persiapan komuni pertama,
babtis bayi, persiapan krisma, dan persiapan sakramen perkawinan, menjadi
bagian tugas yang diembannya. “Bukan kecil atau besar yang menjadi ukuran untuk
berkarya, tetapi bagaimana saya bisa menjaring ikan-ikan kecil sehingga masuk
dalam kumpulan besar.
2. Mencintai
mereka lewat karya
pendidikan ( Sr. Flavia Simbolon SFD )
Setiap
orang selalu punya kisah dan cerita tentang
pilihan hidupnya, tak terkecuali Suster Flavia Simbolon SFD. “Awalnya saya tidak terlalu senang
dengan tugas di bidang pendidikan. Akan tetapi, karena sejak yuniorat (suster muda) saya selalu ditugaskan di bidang pendidikan, lama-kelamaan saya semakin bisa
mencintai dan menekuni tugas ini,” kisahnya. Suster kelahiran Sidikalang ini sering dijuluki Suster baby face karena memang wajahnya yang selalu kelihatan jauh lebih muda dari usianya.
Sejak Juli
2014 Kongregasi SFD menugasi Suster Flavia Simbolon SFD sebagai Kepala Sekolah di SDS Fioretti Tigaraksa,
meski awalnya muncul perasaan khawatir dalam hatinya karena ini pertama kali ia mendapat tugas di luar Sumatra.
Situasi sekolah Fioretti Tigaraksa sangat jauh berbeda
dari tempat tugas sebelumnya—baik yang berada di Kabanjahe maupun di Medan, Sumatra Utara yang sudah lebih tertata dan mapan. Sebaliknya,
situasi karya di Tigaraksa sungguh lebih menantang dalam
banyak hal. Sebagai contoh, nama Sekolah Fioretti belum familiar di masyarakat
sekitar,
relasi atau komunikasi sekolah
dengan dinas pendidikan belum terjalin baik, letak sekolah yang berada di tengah-tengah masyarakat mayoritas non-kristiani, pekerjaan orang tua murid yang umumnya sebagai
buruh pabrik, dan jumlah murid tidak sebanyak di tempat tugas sebelumnya. Situasi awal ini sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi
Suster Flavia Simbolon SFD dalam menghadapi tugas di
Tigaraksa.
Seiring waktu berlalu, pandangan Suster Flavia Simbolon SFD perlahan diubah oleh situasi.
Bagaimanapun kenyataan tidak boleh disingkirkan, melainkan harus dihadapi. “Saya yakin bersama rahmat-Nya kita akan dimampukan. Apa yang tadinya saya anggap
sebagai tantangan atau hal yang mengkhawatirkan, kalau kita mau dan bersedia, Tuhan selalu
memberi jalan untuk menolong kita,” prinsipnya. Biarawati kelahiran Sidikalang, 28 November 1974 ini pun
selalu terkesan dengan filosofi sapu lidi yang oleh karena kesatuanyalah sapu
lidi menjadi kuat dan berguna. Sebaliknya, ketika tercerai-berai
maka lidi-lidi itu tidak akan kuat dan tak berguna. Oleh karena itu, dia sangat yakin
bahwa dengan menjalin kerja
sama yang baik dengan banyak pihak
maka dia akan lebih maju
dan kuat. Sebab, melalui orang lain, Tuhan sering menolong dan menyampaikan kehendak-Nya.
Keyakinan dan kerja
keras suster yang sejak
Juli 2017 telah berpindah tugas sebagai Kepala Sekolah SMP Fioretti perlahan tapi pasti mulai bisa dinikmati. Kesulitan dan tantangan selama ini
pelan-pelan menemukan solusi. Baginya, itu bukan kerja pribadinya, melainkan tidak lepas dari rahmat Tuhan melalui kebaikan sesama
yang mau bekerja sama dan menolong.
Contoh lain, ketika
pada Maret 2017 Yayasan Fioretti
Tigaraksa untuk pertama kalinya mengadakan Porseni di Sekolah
dengan berbagai lomba, panitia yang ditugasi
mengantar undangan
ke sekolah-sekolah di sekitar mendapat beragam pengalaman.
Ada yang diterima dan ditanggapi dengan
baik dan ramah, namun ada juga yang menerima perlakuan dingin dan tak ada respon, bahkan dicurigai hingga diusir oleh petugas keamanan. Pengalaman
ini tentu tidak mengenakkan bagi guru yang bersangkutan,
tetapi menjadi sangat berharga.
Selain berdialog dengan pihak luar, sekolah Fioretti berusaha membangun
dialog yang baik dengan orang tua peserta didik, mengingat sukses tidaknya suatu pendidikan sangat dipengaruhi oleh kerja sama antara sekolah
dan keluarga anak didik. “Kalau orang tua tidak mau menyekolahkan di sekolah kita? Kalau orang tua tidak tertib membayar administrasi? Kalau orang tua merasa tidak
puas dengan pelayanan sekolah? Semua itu sangat membawa efek buruk bagi sekolah,” jelas Suster
Flavia Simbolon SFD.
Sekolah Katolik bukan hanya tempat
menuntut ilmu belaka, tetapi harus membekali anak didiknya dengan pendidikan
yang mereka butuhkan untuk berbakti bagi masyarakat melalui kemampuan teknis
dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak didik. Artinya, ilmu pengetahuan dan
penanaman karakter serta iman yang baik harus berjalan bersama-sama agar sekolah
Katolik tetap menjadi lembaga pendidikan yang diminati masyarakat di dunia
modern ini. Menanggapi harapan Gereja ini, sekolah Fioretti mendidik anak
didiknya dengan ilmu, iman, dan karakter yang baik. Untuk penanaman karakter
ini, sebagai guru tidak cukup hanya mengajar tetapi harus memberi teladan
hidup. Oleh karena itu, kepala sekolah bersama para guru dan pegawai selalu
harus berusaha menjadi “brosur hidup” setiap saat. Hal yang pantas juga
disyukuri bahwa sebagian besar dari para guru dan pegawai terlibat aktif dalam
hidup bermasyarakat dan menggereja. Bahkan beberapa di antaranya ada yang
menjadi pengurus di lingkup masyarakat maupun lingkungan gereja.
Sebagai sekolah milik para suster SFD, sekolah
Fioretti juga menanamkan nilai-nilai ke SFD-an
kepada anak didik. Sebagaimana Santo Fransiskus mencintai dan menganggap
semua ciptaan Tuhan adalah saudara dan saudari, demikian semangat itu
diturunkan kepada para guru dan anak didik supaya semakin mencintai hidup dan
seluruh ciptaan Tuhan. Selain melalui karya pendidikan, para suster SFD juga
berusaha terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat dan pelayanan menggereja. Sebagai contoh kecil, dengan
tangan terbuka Yayasan Fioretti mengizinkan sekolah Fioretti menjadi tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan gerejawi
umat wilayah Damian Tigaraksa sebagai
bentuk empati atas izin pembangunan gereja wilayah Damian yang belum ada.
“Hal yang sangat
kami syukuri juga ialah, umat Katolik yang ada di wilayah Tigaraksa
pada umumnya masih memercayakan anak-anak mereka dididik di sekolah Fioretti.
Kendati demikian dari persentase murid, anak didik Fioretti mayoritas Kristen
Protestan, Katolik, Hindu-Buddha, dan Islam. Kami juga masih
merasakan dukungan umat dan para pengurus Wilayah Damian Tigaraksa untuk karya
pendidikan Fioretti. Para pastor di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia juga sangat mendukung dan turut mempromosikan sekolah Fioretti
kepada umat dan masyarakat. Dengan demikian, kami masih optimis dan penuh harapan akan kemajuan
dan perkembangan karya pendidikan Fioretti di Tigaraksa ini. Saya percaya bahwa
semuanya itu tak mungkin terjadi tanpa rahmat dan kehendak Tuhan dan batuan
sesama.”
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )
3. Perjumpaan
yang Mengubah ( Sr. Vinsensia Tarigan SFD )
Suster Vinsensia Tarigan SFD atau sering dipanggil “tigan” oleh
para koleganya, menghabiskan hampir separuh hidupnya di bidang pendidikan di
Saribudolok Sumatra Utara. Akan tetapi, justru di usia yang semakin senja ia
diutus oleh kongregasi untuk berkarya di Lembaga Daya Dharma (LDD), pelayanan
kaum buruh dengan pengabdian sebagai tugas sosial di Tigaraksa, Tangerang, Keuskupan
Agung Jakarta.
“Apalah yang bisa saya perbuat di
tempat tugas yang baru nanti, dalam hatiku ketika pertama kali menerima tugas
baru dari Pimpinan Umum kami,” kenang Suster Vinsensia Tarigan SFD. Sejak masuk
biara, suster yang ceria ini selalu bertugas di sekolah atau bagian pendidikan.
Tak heran bila di tempat tugas yang baru dan asing baginya kali ini terbetik rasa
waswas dalam menghadapi tugas dan situasi baru di LDD. Kendati demikian, jauh
di lubuk hati ia tetap yakin dan berharap bahwa Tuhan yang memanggil dan
mencintainya pasti akan tetap menuntun dan melindungi hidupnya. “Maka akhirnya
saya tetap melangkah dengan suka cita dan menyerahkan segala kekwatiran saya
pada kehendak-Nya,” tandas suster yang juga bertugas sebagai Ministra Komunitas
di komunitas SFD Gita Surya - Desa Matagara - Tigaraksa Kabupaten Tangerang.
“Perjumpaan mengubah penafsiran atau persepsi”,
demikian kata orang bijak. Setelah berjumpa dengan para pengurus LDD, rasa khawatir
Suster Vinsensia Tarigan SFD mulai terkikis. Tugas pokok Suster Vinsensia
Tarigan SFD di LDD adalah di bagian lapangan, mendampingi sebagian buruh pabrik
dan serikat. Ada banyak pengalaman yang membuat hatinya miris ketika berjumpa
dengan kaum buruh yang ia dampingi. Di zaman yang semakin maju ini, ternyata
masih ada banyak orang yang sangat menderita dan membutuhkan uluran tangan.
Inilah tugas dari LDD, mendampingi dan memberdayakan mereka melalui bantuan
entah itu dalam bentuk sembako, biaya uang sekolah anak-anak, atau mencarikan
pekerjaan bagi mereka. Selain membantu secara finansial tentu, juga mendampingi
mereka dari aspek spiritual agar mereka tetap tabah, semangat, dan tetap memiliki
pengharapan di tengah sulitnya kehidupan. Suster yang sejak 10 Agustus 2014
memulai tugas pelayanan di LDD-KAJ ini hampir setiap hari meluangkan waktu untuk
membersihkan lingkungan komunitasnya yang cukup luas.
Kisah perutusan di LDD agaknya semakin memperkaya pengalaman
melalui perjumpaan dengan orang yang berbeda dengannya. Sebagai contoh, suatu
waktu ketika Suster Vinsensia Tarigan SFD mengunjungi anggota serikat LDD di
Tangerang Cisoka, ia sangat tertegun dan tersentuh saat berjumpa dengan
kelompok/organisasi non-kristiani yang juga mempunyai semangat dan tujuan yang
sama dengan LDD. “Waktu itu kami bersama dengan mereka bekerja
sama dengan baik untuk menolong dan mengasihi orang-orang yang sangat
membutuhkan di tempat itu. Saya bersyukur melihat semangat berbagi mereka
dengan sesamanya,” jelasnya. Di situ ia melihat betapa perbedaan bukan menjadi
benteng pemisah, melainkan kenyataan yang harus diterima untuk saling
melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Bahkan, perjumpaan dan kasih justru merobohkan
tembok pemisah yang ada. Pengalaman tersebut menyadarkannya bahwa bukan hanya
gereja yang memiliki gerakan-gerakan sosial peduli sesama, tetapi gerakan yang
sama juga dimiliki oleh saudara-saudara yang berbeda keyakinan.
Di samping bertugas di Lembaga Daya
Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta, Suster Vinsensia Tarigan SFD juga
berusaha aktif di beberapa kelompok kategorial di paroki, antara lain kelompok
KKMK, kelompok kategorial yang mendampingi karyawan-karyawati Katolik. Tujuan
KKMK adalah agar karyawan-karyawati Katolik yang sibuk dengan segala
pekerjaannya masih bisa tetap memperhatikan hidup rohaninya dan kuat dalam
imannya. “Kami senang melihat beberapa
di antara anggota KKMK menjadi aktivis gereja, bahkan ada yang mendapat jodoh
dari KKMK sendiri,” tuturnya.
Suster
Vinsensia Tarigan SFD bersama delapan suster sekomunitas sama-sama berusaha
terlibat dalam hidup menggereja, sebagaimana pola hidup Kongregasi SFD yang
adalah kongregasi aktif. Dengan demikian, selain sibuk dengan karya pelayanan
di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, para suster SFD juga tetap memberi
waktu pelayanan di lingkup gereja; pergi berdua-dua ke beberapa lingkungan
untuk memberi renungan, melatih bernyanyi, atau sekadar hadir di tengah. Bahkan,
adakalanya Suster Vinsensia Tarigan SFD juga ikut mengunjungi orang-orang di
penjara.
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )
4. Melayani
Tuhan yang Kelihatan dalam Diri Sesama yang Menderita
( Sr. Evarista Simamora SFD )
( Sr. Evarista Simamora SFD )
Pasien di Tigaraksa yang dilayani kurang
lebih 25 orang setiap harinya dan rata-rata adalah para buruh pabrik dan
masyarakat setempat yang pendapatan ekonominya sangat rendah. Oleh karena itu, bukan
sekali-dua kali ada tawar-menawar soal harga obat meski harga sudah sangat jauh
lebih murah dari harga normal. Bahkan, tidak jarang ada pasien yang terpaksa
harus berutang atau tidak membayar sama sekali. Namun, itu semua tidak
menghalangi pelayanan yang diberikan kepada para pasien dari semua kalangan.
Selain melayani pasien klinik, Suster Evarista Simamora SFD
juga melayani home care, perawatan
pasien di rumah, sekaligus mengajak doa, mengunjungi keluarga-keluarga yang
pada waktu itu mengalami PHK atau keluarga yang sangat tidak mampu secara
finansial sehingga banyak yang mengalami stres dan tekanan. Dalam hal ini, para
suster SFD yang bertugas membantu mencarikan solusi, misalnya memberi pekerjaan
sederhana sekadar untuk menyambung hidup, misalnya mengolah sampah, membuat tas
dari plastik, juga mengajari membuat rosario dari manik-manik.
Khusus bersama umat Katolik, Suster
Evarista Simamora SFD pun setiap minggu ikut ambil bagian dalam doa lingkungan
dan memandu ibadat sabda di lingkungan. Antusiasme umat untuk mengikuti jadwal
doa lingkungan sungguh membuat para suster pendamping ini makin semangat, meski
umumnya kegiatan baru selesai antara pukul 22.00—23.00 WIB.
Pengalaman yang juga menarik bagi Suster Evarista Simamora
SFD adalah keterlibatannya pada pelaksanaan Kursus Perkawinan dan Tempat
Penitipan Anak (TPA). Materi yang dibawakannya dalam Kursus Perkawinan adalah
seputar kesehatan, salah satunya mengenai kehamilan, persalinan, KB alami, dan
tumbuh kembang anak. Tugas ini diembannya tanpa sungkan bahkan ia merasa senang
boleh mendampingi mereka dalam persiapan menerima sakramen pernikahan.
Demikian pun sejalan dengan
kehidupan berkeluarga, umumnya para keluarga muda ini memiliki masalah saat
telah memiliki anak balita. Kedua orang tua yang harus bekerja di pabrik
(berangkat pagi, pulang malam) umumnya kesulitan mencari tempat menitipkan
anak. Oleh karena itu, ketika banyak masyarakat buruh yang mengusulkan agar
suster-suster SFD membuka Tempat Penitipan Anak (TPA), usul itu pun disambut
antusias, bermula di klinik dengan menerima 15 bocah balita. Pada
perkembangannya, suster-suster SFD memohon kepada Bapak Uskup Mgr. Ignatius Suharyo
untuk mengizinkan rumah LDD di Tigarakasa dimanfaatkan sebagai TPA. Sesuai
dengan arah dasar KAJ saat itu, Bapak Uskup menanggapi dengan mengirim tukang
untuk merenovasi Rumah LDD.
Banyak pengalaman indah dan
menguatkan perjalanan pangilan seorang biarawati yang bekerja di unit kesehatan
dan di daerah yang mayoritas kaum sederhana dan non-Katolik. Para pasien baru tak
jarang memanggil para suster dengan panggilan “dokter” atau bahkan “bunda”.
Satu pengalaman lucu dialami oleh Suster Evarista Simamora SFD. Suatu ketika
ada seorang pasien yang baru pulang dari klinik dan membaca tulisan “Klinik
Dorkas” di bagian depan. Pasien itu pun dengan lugu bertanya, “Bunda…anaknya si
Dorkas di mana?” Suster Evarista Simamora SFD spontan menjawab, “Oh ya…sedang
kuliah ambil kedokteran untuk meneruskan klinik ini nanti….” Namun, agar tak
terjadi salah paham, akhirnya Suster Evarista Simamora SFD pun menjelaskan apa
itu seorang suster biarawati secara singkat dan pelayanannya lewat klinik
Dorkas (Dorongan Kasih) sehingga keberadaannya bisa dipahami oleh masyarakat
non-Katolik.
“Saat mendengar berbagai keluh kesah
pasien maupun umat, semakin menguatkan saya untuk tetap semangat melayani
walaupun harus berangkat pagi-pagi buta dan harus pulang malam dengan jalan
yang saat itu masih gelap yang harus melewati ladang dan kuburan,” jelas suster
yang kadang-kadang disergap oleh rasa jenuh karena kurang lebih sudah berkarya
di tempat itu selama 6 tahun. “Tetapi berkat bimbingan Tuhan dan lewat dukungan
Pastor Paroki, serta dengan mengikuti
perayaan ekaristi yang menjadi puncak perayaan iman Katolik dan lewat doa-doa
prbadi serta dukungan persaudaraan setarekat, saya tetap mencoba untuk menepis
rasa jenuh menjadi tetap semangat mencoba tetap bangkit dan bergerak untuk
melayani sesama yang menderita.”
Bergelut dengan semua pengalaman
ini, tak jarang membuat Suster Evarista Simamora SFD bertanya dalam hati, Mengapa saya berada di sini, di dalam
pelayanan ini setiap hari bertemu dengan orang yang menderita? Jawaban atas
semua pertanyaan itu hanya satu: semuanya karena Tuhan. Suster Evarista Simamora
SFD menyadari betapa Tuhan yang memanggil dan Dia juga yang telah menetapkan.
Dia juga telah mempersiapkan dan membuat segala sesuatu baik sebab bagaimana pun
susahnya jalan ini, ia selalu memeroleh kekuatan baru dalam kelemahan dan
penghiburan dalam kesusahan. “Tuhan tahu apa yang kubutuhkan, dan Dia
menyediakannya bagiku kalau memang itu diperlukan sekali, melalui banyak pihak
di sekelilingku. Ya Tuhan, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami,
sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.”
(Yes 26:12)
Dengan penuh kesadaran diri, Suster
Evarista Simamora SFD mengakui bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa yang
mempunyai segudang ilmu tentang kesehatan dan spiritualitas, tetapi di atas
segalanya berkat dorongan Kasih sebagai mana singkatan dari klinik DORKAS
(Dorongan Kasih) dan melalui dukungan dari pihak KAJ, Pastor Paroki, karya
perutusan suster-suster SFD ini bisa
berlangsung hingga hari ini. >>> Pace e bene >>>
Video
/fa-clock-o/ TRENDING$type=list
-
UJUD KERASULAN DOA KWI DAN UJUD DOA SFD INDONESIA TAHUN 2016 PERSEMBAHAN HA...
-
MASA ASPIRAN Masa Aspiran merupakan masa dimana para calon dalam tahap paling dini diperkenalkan kehidupan membiara. Pada m...
-
Sejarah Lahirnya SFD di Dongen Kongregasi Suster-Suster Fransiskanes Dongen mulai terbentuk akibat Revolusi Perancis pada tahun 1789...
-
Pembaharuan Kaul Inti hidup membiara atau hidup berkaul adalah kita ingin menyerahkan diri penuh kepada Tuhan yang telah memanggi...
-
Anggota kom. Gita Surya Tiga Raksa Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) berdiri di Dongen Belanda tahun 1801 dengan nama Su...
RECENT WITH THUMBS$type=blogging$m=0$cate=0$sn=0$rm=0$c=4$va=0
RECENT$type=list-tab$date=0$au=0$c=5
REPLIES$type=list-tab$com=0$c=4$src=recent-comments
RANDOM$type=list-tab$date=0$au=0$c=5$src=random-posts
/fa-fire/ YEAR POPULAR$type=one
-
MASA ASPIRAN Masa Aspiran merupakan masa dimana para calon dalam tahap paling dini diperkenalkan kehidupan membiara. Pada m...
-
UJUD KERASULAN DOA KWI DAN UJUD DOA SFD INDONESIA TAHUN 2016 PERSEMBAHAN HA...
-
Syukur merupakan kata yang paling pantas dan layak diungkapkan oleh keluarga besar Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) karena ...