Kongregasi SFD - Berkarya Hingga ke Jakarta

Anggota kom. Gita Surya Tiga Raksa

Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) berdiri di Dongen Belanda tahun 1801 dengan nama Suster Fransiskus Dongen dan memulai karya di Indonesia tepatnya di Medan Sumatera Utara, tanggal 17 April 1923. Selanjutnya, pada tahun 1937 suster-suster SFD melebarkan daerah pelayanan ke Kalimantan Selatan di kota Banjarmasin;  dan ke Kalimantan Tengah, di Kota Palangka Raya, Muara Teweh, dan Buntok dan pada tanggal 14 Juli 1958 di Pati Jawa Tengah
Pada tanggal 17 April 2007 Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina resmi menjadi Kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi Keuskupan Agung Semarang dengan nama Suster-suster Fransiskus Dina atau disingkat dengan SFD. Biara Pusat ditetapkan di Jalan Ganesha II/8 Timoho-Yogyakarta, di bawah reksa Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Tahun 2017, jumlah Suster SFD Indonesia yang tersebar di delapan Keuskupan ada 208 orang termasuk Suster Novis.
            Pada bulan Juli 1989, Kongregasi SFD memulai karya pelayanan di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), membantu pelayanan di wisma KWI dan Kantor KWI sebagai Petugas Rumah Tangga dan Petugas Keuangan. Pada tahun 1991, suster-suster SFD ambil bagian dalam karya pelayanan pendampingan buruh (LDD) dan untuk pertama sekali para suster SFD tinggal di perumahan milik LDD. Pada 1996, suster-suster SFD boleh tinggal di rumah baru Desa Matagara yang kondisinya sulit karena belum ada angkutan dan mayoritas dihuni oleh penduduk sederhana beragama Islam.
Tahun 1992/1993 suster-suster SFD memulai karya Pendidikan, TK Strada di Tigaraksa. Dalam tahun yang sama dibuka karya pelayanan di bidang kesehatan dengan tingkat Balai Pengobatan. Setelah Sekolah TK berjalan baik, dibuka juga sekolah tingkat SD yang bernaung di Yayasan Strada Jakarta, diikuti dengan sekolah tingkat SMP. Dalam perjalanan waktu terkait dengan Yayasan, kesulitan demi kesulitan dialami dalam pelayanan di tiga unit karya Pendidikan. Oleh karena itu, untuk pelayanan yang lebih maksimal Yayasan Strada Pusat menganjurkan agar dibentuk satu yayasan yang dapat melayani ketiga unit sekolah tersebut. Pada 09 Juni 2011 dibentuklah yayasan pendidikan dengan nama Yayasan Fioretti yang berkedudukan di Kabupaten Tangerang. Pengurus Yayasan Fioretti bekerja sama dengan kepala sekolah mulai menindaklanjuti pergantian nama sekolah. Tahun 2016 diterbitkanlah SIOP untuk tingkat TK dan SD yang menandai pergantian nama menjadi  TK Fioretti dan SD Fioretti. Pada 2017, SMP juga berganti nama menjadi SMP Fioretti untuk kemudian didaftarkan di Majelis Pendidikan Katolik (MPK) KAJ.
Selain karya pendidikan dan kesehatan, para Suster SFD juga melayani karya sosial Tempat Penitipan Anak (TPA) yang dimulai tahun 2011, berlokasi di tengah pemukiman masyarakat Tigaraksa untuk membantu kaum buruh yang mengalami kesulitan mencari pengasuh anak. Status karya TPA ini milik KAJ, tetapi pada 2017 oleh kongregasi diserahkan kembali ke KAJ.
Secara umum karya pelayanan Suster SFD di KAJ meliputi Karya Pendidikan (TK, SD, SMP), Karya Kesehatan (Klinik Pratama DORKAS), Pendampingan kaum buruh (LDD), dan Pastoral. Melayani di KAJ - khususnya di Kabupaten Tangerang - memiliki banyak tantangan dan kesulitan, baik dari luar karena kondisi dan situasi masyarakat sekitar maupun dari dalam (internal). Meski demikian, sebagai religius yang disemangati oleh Santo Fransiskus Assisi sebagai saudara dina, para suster SFD tidak tinggal diam dan terus berusaha menemukan solusi serta melakukan pertobatan.
Pengalaman berpastoral tentunya menjadi salah satu pendukung dalam menyemangati para suster SFD untuk melayani di Bumi Tangerang, Banten. Persaudaraan yang baik dengan umat yang ada di wilayah Tigarakasa memberi suasana tersendiri, sebagai dukungan yang sangat berarti melalui kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin.

Keterlibatan Kongregasi dalam berpastoral di KAJ


Melalui kehadiran dan karya pelayanan di KAJ, suster-suster SFD berusaha turut serta mendukung Arah Dasar (ARDAS)  yang sudah ditetapkan. Secara komunitas, Kongregasi SFD ikut mendukung ARDAS melalui pengembangan pastoral keluarga dengan kehadiran di lingkungan, paduan suara di gereja, dan kunjungan keluarga. Para suster dibagi tugas untuk hadir ke setiap lingkungan, sebagai kesempatan untuk berevangelisasi dan berkatekese. Terhadap lingkungan sekitar, para suster berupaya menjalin kerja sama baik dengan Kepala Desa dan RT. Kegiatan lain, ikut mendampingi karyawan-karyawan Katolik, pembinaan kaum muda, dan mengunjungi saudara-saudara yang berada di penjara.
Kehadiran karya pelayanan suster-suster SFD, baik karya pendidikan, sosial, maupun kesehatan diperluas sebagai upaya menjalankan karya pastoral. Kegiatan yang berkaitan dengan sekolah, antara lain retret bersama, rekreasi bersama, dan silaturahmi membangun persaudaraan dan keakraban sebagai keluarga. Melalui karya kesehatan, para suster SFD memberi bantuan bagi sesama yang membutuhkan - baik beragama Katolik maupun non-Katolik - selain juga terlibat aktif dalam pelayanan di Klinik Paroki. Sementara, kegiatan di LDD merupakaan kehadiran yang nyata untuk mewujudkan dan mengamalkan Pancasila.

Pernak-pernik Kehidupan Penuh Makna

1. “Ikan-ikan Kecil” di pinggir Jakarta ( Sr. Frederika Sipayung SFD )

“Ikan-ikan yang besar, tanpa dijaring sudah masuk di sekolah Katolik maka jaringlah ikan-ikan kecil agar mereka juga mencicipi pendidikan di sekolah Katolik”. Demikian salah satu kalimat yang terungkap dari Mgr. Julius Darmaatmadja (Uskup Agung di KAJ) saat kunjungan pastoral ke Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia tahun 2009.
Seusai perayaan Ekaristi pada hari Minggu itu, semua yang berkarya di pendidikan Katolik di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia diundang oleh Bapak Uskup untuk bersambung rasa tentang kehidupan menggereja di sekolah Katolik yang ada di wilayah Paroki. Dalam pertemuan dengan Uskup Agung itu, Suster Frederika Sipayung SFD sangat terkesan dengan ungkapan Bapak Uskup tersebut. “Saya sangat tergugah dengan itu dan sepertinya didorong agar segera mencari ikan-ikan yang mungkin belum terjaring. Ikan-ikan yang beliau maksud adalah anak-anak usia sekolah khususnya tingkat SD-SMP dari umat yang beragama Katolik, tetapi karena ketidakmampuan secara ekonomi tidak sekolah di sekolah Katolik,” kenangnya.
Pertemuan singkat itu sangat berkesan dan menyentak meski disampaikan secara lemah lembut. Ada pengalaman, di awal tahun sebelumnya ada anak dari umat Katolik yang terpaksa menarik anaknya dari Sekolah Strada Tigaraksa karena kakaknya akan melanjutkan ke SMA dan adiknya akan masuk SD. Keluarga itu tidak mampu membayar uang sekolah jika harus di sekolah Strada, ditambah biaya transpor yang dirasa berat bagi keluarga itu karena jarak sekolah dengan tempat tinggal mereka jauh (misalnya, Cikasungka salah satu stasi di Paroki Citra Raya).
Tidak lama setelah itu, Suster Frederika Sipayung SFD bersama dengan Yayasan, para guru, dan pegawai di bawah naungan Yayasan Fioretti Tigaraksa—Tangerang yang berkarya dalam bidang pendidikan TK, SD dan SMP Strada Tunas Harapan (nama saat itu), sepakat dan berusaha mencari “ikan-ikan kecil” di lingkungan yang ada di sekitar Tigaraksa yang masuk ke Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia. Para guru/pegawai terlibat langsung “blusukan” ke lingkungan-lingkungan Tigaraksa, Cikasungka, Adiasa, dan Cisoka, baik dengan cara terlibat dalam doa lingkungan, maupun mengajar Sekolah Minggu di stasi yang jauh dari gereja. Meski sebenarnya, untuk ukuran Keuskupan Agung Jakarta, Yayasan Fioretti Tigaraksa sendiri tergolong sebagai “ikan kecil” juga.
Di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia hanya ada satu gereja Katolik sehingga kehadiran para guru dan pegawai Strada Tunas Harapan sangat berarti dan bermanfaat bagi  stasi tersebut. Hampir semua stasi letaknya cukup jauh dari gereja sehingga umat membutuhkan waktu dan transportasi bila hendak pergi ke gereja. Sementara, kondisi ekonomi umat Katolik yang ada di daerah Tigaraksa boleh dikatakan tergolong menengah ke bawah karena pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh pabrik. Kalau pun ada umat yang memiliki sepeda motor, hal itu tidak terlalu memberi solusi bagi umat yang memiliki 2-3 orang anak. Hampir semua umat Katolik di daerah ini merupakan pendatang dari luar daerah yang umumnya mengontrak atau mencicil rumah tempat tinggal mereka. Kondisi ekonomi yang demikian membuat mereka tidak mampu menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah Katolik, yang bila ditilik dari statistik siswa, hanya 20% dari jumlah siswa (dari TK-SMP) yang beragama Katolik.
Sungguh beruntung, para guru/pegawai Strada rela dan siap melakukan tugas menjaring “ikan-ikan kecil” tersebut meski  tidak ada bantuan tambahan dari pihak Yayasan. Bahkan, saat dilakukan evaluasi atas program ini setelah berjalan satu semester, para guru/pegawai justru mengaku bahagia dalam melaksanakan tugas itu. Salah satu sharing mereka yang berkesan adalah, bagaimana mereka dijamu dengan sangat akrab oleh stasi dan ada juga yang diberi oleh-oleh sayuran, ayam, bahkan baju hujan. Kehadiran mereka sungguh sangat dirindukan dan dari situ dapat disimpulkan bahwa masih ada anak-anak beragama Katolik (meski sedikit) yang tidak sekolah di sekolah Katolik karena faktor ekonomi. Besaran uang sekolah di sekolah Strada Tunas Harapan sebenarnya bukan yang menjadi keluhan mereka, tetapi uang transporlah yang menjadi kendala.
Bersama pihak Yayasan dan sekolah, Suster Frederika Sipayung SFD pun lantas ikut dalam menyisir orang tua asuh di antara orang tua siswa-siswi yang dianggap mampu secara ekonomi dan juga berkoordinasi dengan Pastor Paroki untuk membantu membiayai uang sekolah anak-anak tersebut. Di samping itu, setiap akhir bulan setiap guru/pegawai diwajibkan mengumpulkan sumbangan suka  rela yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk uang sekolah, pakaian seragam, atau apa saja yang menjadi kebutuhan siswa yang tidak mampu. Program ini dinamai “Persembahan Janda Miskin (PJS), terinspirasi dari teks tersebut “memberi dari kekurangan” (bdk. Markus 12: 41-44).
Sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia, sekolah Strada Tunas Harapan juga terlibat aktif bersama masyarakat di dalam berbagai kegiatan, misalnya perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia, baik saat upacara bendera maupun berbagai kegiatan pendukungnya. Demikian juga pada peringatan hari raya keagamaan Natal, Paskah, bahkan hari raya Idul Fitri.
Keterlibatan aktif guru/pegawai dalam setiap kegiatan tersebut memberi dampak positif bagi sekolah, yaitu bertambahnya jumlah siswa yang mendaftar, bukan hanya dari keluarga yang beragama Katolik, tetapi dari keluarga umat beragama yang lain. Lebih jauh, hal yang juga membahagiakan Yayasan Fioretti Tigaraksa Tangerang adalah adanya kesempatan yang diberikan oleh Perkumpulan Strada Jakarta bagi Yayasan Fioretti “yang kecil” untuk ikut terlibat dalam memberi masukan tentang pendidikan yang berkembang di KAJ serta diikutsertakan dalam berbagai kegiatan pendidikan.
Berkarya selama kurang lebih enam tahun di Yayasan Fioretti Tigaraksa Tangerang sejak Agustus 2005 hingga 2011, sungguh merupakan pengalaman yang sangat membangun panggilan Suster Frederika Sipayung SFD sebagai seorang religius. Pun sebagai bagian dari keluarga Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia, ia juga membangun komunikasi yang baik dengan para pastor yang berkarya di sana beserta seluruh umatnya. Kesibukan membantu persiapan komuni pertama, babtis bayi, persiapan krisma, dan persiapan sakramen perkawinan, menjadi bagian tugas yang diembannya. “Bukan kecil atau besar yang menjadi ukuran untuk berkarya, tetapi bagaimana saya bisa menjaring ikan-ikan kecil sehingga masuk dalam kumpulan besar.

2. Mencintai mereka lewat karya pendidikan ( Sr. Flavia Simbolon SFD )

Setiap orang selalu punya kisah dan cerita tentang pilihan hidupnya, tak terkecuali Suster Flavia Simbolon SFD. “Awalnya saya tidak terlalu senang dengan tugas di bidang pendidikan. Akan tetapi, karena sejak yuniorat (suster muda) saya selalu ditugaskan di bidang pendidikan, lama-kelamaan saya semakin bisa mencintai dan menekuni tugas ini,kisahnya. Suster kelahiran Sidikalang ini sering dijuluki Suster baby face karena memang wajahnya yang selalu kelihatan jauh lebih muda dari usianya.
Sejak Juli 2014 Kongregasi SFD menugasi Suster Flavia Simbolon SFD sebagai Kepala Sekolah di SDS Fioretti Tigaraksa, meski awalnya muncul perasaan khawatir dalam hatinya karena ini pertama kali ia mendapat tugas di luar Sumatra. Situasi sekolah Fioretti Tigaraksa sangat jauh berbeda dari tempat tugas sebelumnya—baik yang berada di Kabanjahe maupun di Medan, Sumatra Utara yang sudah lebih tertata dan mapan. Sebaliknya, situasi karya di Tigaraksa sungguh lebih menantang dalam banyak hal. Sebagai contoh, nama Sekolah Fioretti belum familiar di masyarakat sekitar, relasi atau komunikasi sekolah dengan dinas pendidikan belum terjalin baik, letak sekolah yang berada di tengah-tengah masyarakat mayoritas non-kristiani, pekerjaan orang tua murid yang  umumnya sebagai buruh pabrik, dan jumlah murid tidak sebanyak di tempat tugas sebelumnya. Situasi awal ini sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi Suster Flavia Simbolon SFD dalam menghadapi tugas di Tigaraksa. 
Seiring waktu berlalu, pandangan Suster Flavia Simbolon SFD perlahan diubah oleh situasi. Bagaimanapun kenyataan tidak boleh disingkirkan, melainkan harus dihadapi. Saya yakin bersama rahmat-Nya kita akan dimampukan. Apa yang tadinya saya anggap sebagai tantangan atau hal yang mengkhawatirkan, kalau kita mau dan bersedia, Tuhan selalu memberi jalan untuk menolong kita,” prinsipnya. Biarawati kelahiran Sidikalang, 28 November 1974 ini pun selalu terkesan dengan filosofi sapu lidi yang oleh karena kesatuanyalah sapu lidi menjadi kuat dan berguna. Sebaliknya, ketika tercerai-berai maka lidi-lidi itu tidak akan kuat dan tak berguna. Oleh karena itu, dia sangat yakin bahwa dengan menjalin kerja sama yang baik dengan banyak pihak maka dia akan lebih maju dan kuat. Sebab, melalui orang lain, Tuhan sering menolong dan menyampaikan kehendak-Nya.
Keyakinan dan kerja keras suster yang sejak Juli 2017 telah berpindah tugas sebagai Kepala Sekolah SMP Fioretti perlahan tapi pasti mulai bisa dinikmati. Kesulitan dan tantangan selama ini pelan-pelan menemukan solusi. Baginya, itu bukan kerja pribadinya, melainkan tidak lepas dari rahmat Tuhan melalui kebaikan sesama yang mau bekerja sama dan menolong.

Senada dengan pernyataan dan harapannya, Suster Flavia Simbolon SFD juga menyadari bahwa sekolah bisa menjadi wadah untuk berdialog dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Misalnya, dengan menjalin komunikasi yang baik dengan pihak dinas pendidikan setempat, perlahan-lahan Fioretti semakin dikenal dan diakui, bahkan dinas pernah melibatkan sekolah ini dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI dengan menampilkan paduan suara, marching band, dan dance. Selain itu, Fioretti juga berusaha aktif mengikuti perlombaan antarsekolah dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. “Semuanya itu tentu menjadi pemicu utama mengenalkan sekolah kita ke masyarakat kendati masih dalam proses,harapnya.
Contoh lain, ketika pada Maret 2017 Yayasan Fioretti Tigaraksa untuk pertama kalinya mengadakan Porseni di Sekolah dengan berbagai lomba, panitia yang ditugasi  mengantar undangan ke sekolah-sekolah di sekitar mendapat beragam pengalaman. Ada yang diterima dan ditanggapi dengan baik dan ramah, namun ada juga yang menerima perlakuan dingin dan tak ada respon, bahkan dicurigai hingga diusir oleh petugas keamanan. Pengalaman ini tentu tidak mengenakkan bagi guru yang bersangkutan, tetapi menjadi sangat berharga.
Tak heran bila semakin mendekati hari pelaksanaan, panitia semakin merasa gelisah dan khawatir karena pendaftar lomba tidak seperti yang diharapkan—meski peserta terus bertambah hingga dua hari menjelang hari pertandingan. Menanggapi situasi semacam ini, Suster Flavia Simbolon SFD mengatakan, “Hal yang paling mengesan bagi saya adalah, pada hari pertama perlombaan para tamu undangan kelihatan kikuk dan canggung dengan situasi yang ada. Bahkan beberapa pembina/ guru yang datang serasa berat menerima salam dan sapaan dari kami tuan rumah. Hari kedua, situasi semakin kelihatan akrab, baik di antara anak didik maupun di antara kami para guru. Dan, pada hari ketiga semakin terasalah keakraban di antara kami. Bahkan, jabat tangan perpisahan itu pun terasa hangat dan akrab. Dari situ saya bisa melihat bahwa kegiatan Porseni juga bisa menjadi wadah untuk berdialog dengan yang berbeda dengan kita. Seperti pepatah mengatakan kenal maka sayang, tak kenal maka tak sayang. Puji Tuhan beberapa anak dari SD yang kita undang, walau tak banyak, ada yang akhirnya masuk ke SMP kami.
Selain berdialog dengan pihak luar, sekolah Fioretti berusaha membangun dialog yang baik dengan orang tua peserta didik, mengingat sukses tidaknya suatu pendidikan sangat dipengaruhi oleh kerja sama antara sekolah dan keluarga anak didik. “Kalau orang tua tidak mau menyekolahkan di sekolah kita? Kalau orang tua tidak tertib membayar administrasi? Kalau orang tua merasa tidak puas dengan pelayanan sekolah? Semua itu sangat membawa efek  buruk bagi sekolah, jelas Suster Flavia Simbolon SFD.


Atas dasar itulah kepala sekolah bersama para guru dan pegawai Fioretti berusaha bekerja sama dan membangun dialog yang baik dengan orang tua, misalnya menanggapi dengan baik masukan atau kritikan dari orang tua, melibatkan orang tua dalam kepanitiaan kegiatan di sekolah (perayaan Natal, Paskah, Imlek, dll). Bila hati orang tua senang, diharapkan mereka akan turut mempromosikan sekolah.
Sekolah Katolik bukan hanya tempat menuntut ilmu belaka, tetapi harus membekali anak didiknya dengan pendidikan yang mereka butuhkan untuk berbakti bagi masyarakat melalui kemampuan teknis dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak didik. Artinya, ilmu pengetahuan dan penanaman karakter serta iman yang baik harus berjalan bersama-sama agar sekolah Katolik tetap menjadi lembaga pendidikan yang diminati masyarakat di dunia modern ini. Menanggapi harapan Gereja ini, sekolah Fioretti mendidik anak didiknya dengan ilmu, iman, dan karakter yang baik. Untuk penanaman karakter ini, sebagai guru tidak cukup hanya mengajar tetapi harus memberi teladan hidup. Oleh karena itu, kepala sekolah bersama para guru dan pegawai selalu harus berusaha menjadi “brosur hidup” setiap saat. Hal yang pantas juga disyukuri bahwa sebagian besar dari para guru dan pegawai terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat dan menggereja. Bahkan beberapa di antaranya ada yang menjadi pengurus di lingkup masyarakat maupun lingkungan gereja.
Sebagai sekolah milik para suster SFD, sekolah Fioretti juga menanamkan nilai-nilai ke SFD-an kepada anak didik. Sebagaimana Santo Fransiskus mencintai dan menganggap semua ciptaan Tuhan adalah saudara dan saudari, demikian semangat itu diturunkan kepada para guru dan anak didik supaya semakin mencintai hidup dan seluruh ciptaan Tuhan. Selain melalui karya pendidikan, para suster SFD juga berusaha terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat dan pelayanan menggereja. Sebagai contoh kecil, dengan tangan terbuka Yayasan Fioretti mengizinkan sekolah Fioretti menjadi tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan gerejawi umat wilayah Damian Tigaraksa sebagai bentuk empati atas izin pembangunan gereja wilayah Damian yang belum ada.
Hal yang sangat kami syukuri juga ialah, umat Katolik yang ada di wilayah Tigaraksa pada umumnya masih memercayakan anak-anak mereka dididik di sekolah Fioretti. Kendati demikian dari persentase murid, anak didik Fioretti mayoritas Kristen Protestan, Katolik, Hindu-Buddha, dan Islam. Kami juga masih merasakan dukungan umat dan para pengurus Wilayah Damian Tigaraksa untuk karya pendidikan Fioretti. Para pastor di Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia juga sangat mendukung dan turut mempromosikan sekolah Fioretti kepada umat dan masyarakat. Dengan demikian, kami masih optimis dan penuh harapan akan kemajuan dan perkembangan karya pendidikan Fioretti di Tigaraksa ini. Saya percaya bahwa semuanya itu tak mungkin terjadi tanpa rahmat dan kehendak Tuhan dan batuan sesama. 
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )

    3.  Perjumpaan yang Mengubah ( Sr. Vinsensia Tarigan SFD )

Suster Vinsensia Tarigan SFD atau sering dipanggil “tigan” oleh para koleganya, menghabiskan hampir separuh hidupnya di bidang pendidikan di Saribudolok Sumatra Utara. Akan tetapi, justru di usia yang semakin senja ia diutus oleh kongregasi untuk berkarya di Lembaga Daya Dharma (LDD), pelayanan kaum buruh dengan pengabdian sebagai tugas sosial di Tigaraksa, Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta.
“Apalah yang bisa saya perbuat di tempat tugas yang baru nanti, dalam hatiku ketika pertama kali menerima tugas baru dari Pimpinan Umum kami,” kenang Suster Vinsensia Tarigan SFD. Sejak masuk biara, suster yang ceria ini selalu bertugas di sekolah atau bagian pendidikan. Tak heran bila di tempat tugas yang baru dan asing baginya kali ini terbetik rasa waswas dalam menghadapi tugas dan situasi baru di LDD. Kendati demikian, jauh di lubuk hati ia tetap yakin dan berharap bahwa Tuhan yang memanggil dan mencintainya pasti akan tetap menuntun dan melindungi hidupnya. “Maka akhirnya saya tetap melangkah dengan suka cita dan menyerahkan segala kekwatiran saya pada kehendak-Nya,” tandas suster yang juga bertugas sebagai Ministra Komunitas di komunitas SFD Gita Surya - Desa Matagara - Tigaraksa Kabupaten Tangerang.
         

“Perjumpaan mengubah penafsiran atau persepsi”, demikian kata orang bijak. Setelah berjumpa dengan para pengurus LDD, rasa khawatir Suster Vinsensia Tarigan SFD mulai terkikis. Tugas pokok Suster Vinsensia Tarigan SFD di LDD adalah di bagian lapangan, mendampingi sebagian buruh pabrik dan serikat. Ada banyak pengalaman yang membuat hatinya miris ketika berjumpa dengan kaum buruh yang ia dampingi. Di zaman yang semakin maju ini, ternyata masih ada banyak orang yang sangat menderita dan membutuhkan uluran tangan. Inilah tugas dari LDD, mendampingi dan memberdayakan mereka melalui bantuan entah itu dalam bentuk sembako, biaya uang sekolah anak-anak, atau mencarikan pekerjaan bagi mereka. Selain membantu secara finansial tentu, juga mendampingi mereka dari aspek spiritual agar mereka tetap tabah, semangat, dan tetap memiliki pengharapan di tengah sulitnya kehidupan. Suster yang sejak 10 Agustus 2014 memulai tugas pelayanan di LDD-KAJ ini hampir setiap hari meluangkan waktu untuk membersihkan lingkungan komunitasnya yang cukup luas.
Kisah perutusan di LDD agaknya semakin memperkaya pengalaman melalui perjumpaan dengan orang yang berbeda dengannya. Sebagai contoh, suatu waktu ketika Suster Vinsensia Tarigan SFD mengunjungi anggota serikat LDD di Tangerang Cisoka, ia sangat tertegun dan tersentuh saat berjumpa dengan kelompok/organisasi non-kristiani yang juga mempunyai semangat dan tujuan yang sama dengan LDD. “Waktu itu kami bersama dengan mereka bekerja sama dengan baik untuk menolong dan mengasihi orang-orang yang sangat membutuhkan di tempat itu. Saya bersyukur melihat semangat berbagi mereka dengan sesamanya,” jelasnya. Di situ ia melihat betapa perbedaan bukan menjadi benteng pemisah, melainkan kenyataan yang harus diterima untuk saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Bahkan, perjumpaan dan kasih justru merobohkan tembok pemisah yang ada. Pengalaman tersebut menyadarkannya bahwa bukan hanya gereja yang memiliki gerakan-gerakan sosial peduli sesama, tetapi gerakan yang sama juga dimiliki oleh saudara-saudara yang berbeda keyakinan.
Di samping bertugas di Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta, Suster Vinsensia Tarigan SFD juga berusaha aktif di beberapa kelompok kategorial di paroki, antara lain kelompok KKMK, kelompok kategorial yang mendampingi karyawan-karyawati Katolik. Tujuan KKMK adalah agar karyawan-karyawati Katolik yang sibuk dengan segala pekerjaannya masih bisa tetap memperhatikan hidup rohaninya dan kuat dalam imannya. “Kami senang  melihat beberapa di antara anggota KKMK menjadi aktivis gereja, bahkan ada yang mendapat jodoh dari KKMK sendiri,” tuturnya. 

Suster Vinsensia Tarigan SFD bersama delapan suster sekomunitas sama-sama berusaha terlibat dalam hidup menggereja, sebagaimana pola hidup Kongregasi SFD yang adalah kongregasi aktif. Dengan demikian, selain sibuk dengan karya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, para suster SFD juga tetap memberi waktu pelayanan di lingkup gereja; pergi berdua-dua ke beberapa lingkungan untuk memberi renungan, melatih bernyanyi, atau sekadar hadir di tengah. Bahkan, adakalanya Suster Vinsensia Tarigan SFD juga ikut mengunjungi orang-orang di penjara.
( penulis Sr. Egidia Sitanggang SFD )


 4. Melayani Tuhan yang Kelihatan dalam Diri Sesama yang Menderita 
     ( Sr. Evarista Simamora SFD )

Sekitar Oktober 2006, Suster Evarista Simamora SFD mendapat penugasan menangani karya kesehatan yang dikelola SFD di wilayah  KAJ, di  Klinik Dorkas Jalan Ciung Raya, Perumahan Tigaraksa. Di sana tugas perutusan bukan hanya melayani orang-orang yang menderita secara fisik, tetapi juga secara rohani atau secara batin. Tugas ini ia lakoni dari tahun 2006–2012.
Pasien di Tigaraksa yang dilayani kurang lebih 25 orang setiap harinya dan rata-rata adalah para buruh pabrik dan masyarakat setempat yang pendapatan ekonominya sangat rendah. Oleh karena itu, bukan sekali-dua kali ada tawar-menawar soal harga obat meski harga sudah sangat jauh lebih murah dari harga normal. Bahkan, tidak jarang ada pasien yang terpaksa harus berutang atau tidak membayar sama sekali. Namun, itu semua tidak menghalangi pelayanan yang diberikan kepada para pasien dari semua kalangan.
Selain melayani pasien klinik, Suster Evarista Simamora SFD juga melayani home care, perawatan pasien di rumah, sekaligus mengajak doa, mengunjungi keluarga-keluarga yang pada waktu itu mengalami PHK atau keluarga yang sangat tidak mampu secara finansial sehingga banyak yang mengalami stres dan tekanan. Dalam hal ini, para suster SFD yang bertugas membantu mencarikan solusi, misalnya memberi pekerjaan sederhana sekadar untuk menyambung hidup, misalnya mengolah sampah, membuat tas dari plastik, juga mengajari membuat rosario dari manik-manik.
Khusus bersama umat Katolik, Suster Evarista Simamora SFD pun setiap minggu ikut ambil bagian dalam doa lingkungan dan memandu ibadat sabda di lingkungan. Antusiasme umat untuk mengikuti jadwal doa lingkungan sungguh membuat para suster pendamping ini makin semangat, meski umumnya kegiatan baru selesai antara pukul 22.00—23.00 WIB.
Pengalaman yang juga menarik bagi Suster Evarista Simamora SFD adalah keterlibatannya pada pelaksanaan Kursus Perkawinan dan Tempat Penitipan Anak (TPA). Materi yang dibawakannya dalam Kursus Perkawinan adalah seputar kesehatan, salah satunya mengenai kehamilan, persalinan, KB alami, dan tumbuh kembang anak. Tugas ini diembannya tanpa sungkan bahkan ia merasa senang boleh mendampingi mereka dalam persiapan menerima sakramen pernikahan.
Demikian pun sejalan dengan kehidupan berkeluarga, umumnya para keluarga muda ini memiliki masalah saat telah memiliki anak balita. Kedua orang tua yang harus bekerja di pabrik (berangkat pagi, pulang malam) umumnya kesulitan mencari tempat menitipkan anak. Oleh karena itu, ketika banyak masyarakat buruh yang mengusulkan agar suster-suster SFD membuka Tempat Penitipan Anak (TPA), usul itu pun disambut antusias, bermula di klinik dengan menerima 15 bocah balita. Pada perkembangannya, suster-suster SFD memohon kepada Bapak Uskup Mgr. Ignatius Suharyo untuk mengizinkan rumah LDD di Tigarakasa dimanfaatkan sebagai TPA. Sesuai dengan arah dasar KAJ saat itu, Bapak Uskup menanggapi dengan mengirim tukang untuk merenovasi Rumah LDD.
Banyak pengalaman indah dan menguatkan perjalanan pangilan seorang biarawati yang bekerja di unit kesehatan dan di daerah yang mayoritas kaum sederhana dan non-Katolik. Para pasien baru tak jarang memanggil para suster dengan panggilan “dokter” atau bahkan “bunda”. Satu pengalaman lucu dialami oleh Suster Evarista Simamora SFD. Suatu ketika ada seorang pasien yang baru pulang dari klinik dan membaca tulisan “Klinik Dorkas” di bagian depan. Pasien itu pun dengan lugu bertanya, “Bunda…anaknya si Dorkas di mana?” Suster Evarista Simamora SFD spontan menjawab, “Oh ya…sedang kuliah ambil kedokteran untuk meneruskan klinik ini nanti….” Namun, agar tak terjadi salah paham, akhirnya Suster Evarista Simamora SFD pun menjelaskan apa itu seorang suster biarawati secara singkat dan pelayanannya lewat klinik Dorkas (Dorongan Kasih) sehingga keberadaannya bisa dipahami oleh masyarakat non-Katolik.
“Saat mendengar berbagai keluh kesah pasien maupun umat, semakin menguatkan saya untuk tetap semangat melayani walaupun harus berangkat pagi-pagi buta dan harus pulang malam dengan jalan yang saat itu masih gelap yang harus melewati ladang dan kuburan,” jelas suster yang kadang-kadang disergap oleh rasa jenuh karena kurang lebih sudah berkarya di tempat itu selama 6 tahun. “Tetapi berkat bimbingan Tuhan dan lewat dukungan Pastor Paroki, serta dengan  mengikuti perayaan ekaristi yang menjadi puncak perayaan iman Katolik dan lewat doa-doa prbadi serta dukungan persaudaraan setarekat, saya tetap mencoba untuk menepis rasa jenuh menjadi tetap semangat mencoba tetap bangkit dan bergerak untuk melayani sesama yang menderita.”
Bergelut dengan semua pengalaman ini, tak jarang membuat Suster Evarista Simamora SFD bertanya dalam hati, Mengapa saya berada di sini, di dalam pelayanan ini setiap hari bertemu dengan orang yang menderita? Jawaban atas semua pertanyaan itu hanya satu: semuanya karena Tuhan. Suster Evarista Simamora SFD menyadari betapa Tuhan yang memanggil dan Dia juga yang telah menetapkan. Dia juga telah mempersiapkan dan membuat segala sesuatu baik sebab bagaimana pun susahnya jalan ini, ia selalu memeroleh kekuatan baru dalam kelemahan dan penghiburan dalam kesusahan. “Tuhan tahu apa yang kubutuhkan, dan Dia menyediakannya bagiku kalau memang itu diperlukan sekali, melalui banyak pihak di sekelilingku. Ya Tuhan, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” (Yes 26:12)
Dengan penuh kesadaran diri, Suster Evarista Simamora SFD mengakui bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa yang mempunyai segudang ilmu tentang kesehatan dan spiritualitas, tetapi di atas segalanya berkat dorongan Kasih sebagai mana singkatan dari klinik DORKAS (Dorongan Kasih) dan melalui dukungan dari pihak KAJ, Pastor Paroki, karya perutusan suster-suster  SFD ini bisa berlangsung hingga hari ini.         >>> Pace e bene >>>



Nama

Artikel,37,berita,10,carousel,10,Dies Natalis 215 Tahun,1,Ekspo Panggilan,1,Feature,7,galeri,5,Indahnya Persaudaraan,2,Kalimantan Barat,1,Kontak kami,1,pastoral,5,pendidikan,7,pendiri,1,Sosial,1,Tulisan Populer,4,Tulisan terbaru,3,ujud kerasulan doa SFD,1,utama,18,Visitasi di Banjarmasin,1,Week End di Pati,4,
ltr
item
Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina (SFD) | Indonesia: Kongregasi SFD - Berkarya Hingga ke Jakarta
Kongregasi SFD - Berkarya Hingga ke Jakarta
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJLy5rzbPe-WI9zpusDkyk377JKsLX6Bhvjr3ZAfT9I5wiscSgkLZmghQI_aDR7XO9YNdBQQw5BvR6YVH3E2-LrgSN44BvFp0HGVR696ynMjwSzYC2YqfeANwskZjv2At2gtSHc2kYK-c/s400/asas.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJLy5rzbPe-WI9zpusDkyk377JKsLX6Bhvjr3ZAfT9I5wiscSgkLZmghQI_aDR7XO9YNdBQQw5BvR6YVH3E2-LrgSN44BvFp0HGVR696ynMjwSzYC2YqfeANwskZjv2At2gtSHc2kYK-c/s72-c/asas.png
Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina (SFD) | Indonesia
http://www.kongregasi-sfd.org/2018/04/kongregasi-sfd-kongregasi-mandiri-yang.html
http://www.kongregasi-sfd.org/
http://www.kongregasi-sfd.org/
http://www.kongregasi-sfd.org/2018/04/kongregasi-sfd-kongregasi-mandiri-yang.html
true
2806446007423684193
UTF-8
Muat Semua Tulisan tidak ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batal Balas Hapus Oleh Home PAGES POSTS Lihat Semua Direkomendasikan LABEL Arsip CARI Semua Tulisan Tuisan yang anda cari tidak ditemukan Kembali Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy